Pages

Sunday, July 29, 2012

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 93/PMK.03/2012

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 93/PMK.03/2012

TENTANG

PENYERAHAN JASA PENGIRIMAN SURAT DENGAN PRANGKO
YANG TIDAK DIKENAI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang
:
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 1 TAHUN 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 42 TAHUN 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penyerahan Jasa Pengiriman Surat Dengan Prangko Yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai;
Mengingat
:
a.
Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);


b.
Undang-Undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);


c.
Peraturan Pemerintah Nomor 1 TAHUN 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 42 TAHUN 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5271);


d.
Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;


MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENYERAHAN JASA PENGIRIMAN SURAT DENGAN PRANGKO YANG TIDAK DIKENAI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI.


Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:


1.
Prangko adalah label atau carik, atau teraan di atas kertas dengan bentuk dan ukuran tertentu, baik bergambar maupun tidak bergambar, yang memuat nama negara penerbit atau tanda gambar yang merupakan ciri khas negara penerbit, dan mempunyai nilai nominal tertentu berupa angka dan/atau huruf.


2.
Penyelenggara Pos adalah suatu badan usaha yang menyelenggarakan pos.


3.
Layanan Pos Universal adalah layanan pos jenis tertentu yang wajib dijamin oleh pemerintah untuk menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memungkinkan masyarakat mengirim dan/atau menerima kiriman dari satu tempat ke tempat lain di dunia.


Pasal 2


(1)
Jasa pengiriman surat dengan Prangko yang diserahkan oleh Penyelenggara Pos merupakan jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai.


(2)
Jasa pengiriman surat dengan Prangko yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jasa pengiriman surat dengan Prangko yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan Layanan Pos Universal dengan ketentuan:



a.
atas penyerahan jasa pengiriman surat dengan Prangko tersebut dikenai tarif jasa pos yang ditetapkan oleh pemerintah; dan



b.
cara pelunasan tarif jasa pos sebagaimana dimaksud pada huruf a dilakukan dengan menggunakan Prangko tempel atau cara lain pengganti Prangko tempel.


(3)
Surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bagian dari komunikasi tertulis dengan atau tanpa sampul yang ditujukan kepada individu atau badan dengan alamat tertentu, yang dalam proses penyampaiannya dilakukan seluruhnya secara fisik, termasuk:



a.
kartu pos yaitu bentuk komunikasi tertulis di atas kartu bergambar dan/atau tidak bergambar;



b.
warkat pos yaitu bentuk komunikasi tertulis yang ditulis pada selembar kertas yang sekaligus berfungsi sebagai sampul;



c.
sekogram yaitu tulisan, cetakan, atau rekaman untuk keperluan tunanetra;



d.
bungkusan kecil yaitu surat pos yang dimaksudkan untuk pengiriman barang sampai dengan 2 (dua) kilogram;



e.
dokumen yaitu data, catatan, dan/atau keterangan baik tertulis di atas kertas atau sarana lain maupun terekam dalam bentuk corak apapun yang dapat dilihat, dibaca, atau didengar dan mempunyai nilai komersial atau berharga.


(4)
Pengiriman surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah layanan komunikasi tertulis yang mencakup kegiatan pengumpulan, pemrosesan, pengangkutan, dan penyampaian informasi berupa surat.


(5)
Cara lain pengganti Prangko tempel sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah cetakan Prangko pada sampul, pada warkat pos, pada kartu pos, dan pada formulir yang diterbitkan oleh Penyelenggara Pos, atau cetakan mesin Prangko yang diizinkan oleh Penyelenggara Pos.


Pasal 3


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 168/KMK.03/2002 tentang Penyerahan Jasa Pengiriman Surat dengan Perangko yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 4


Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.











Ditetapkan di Jakarta,






pada tanggal 12 Juni 2012






MENTERI KEUANGAN,













                ttd.













AGUS D.W. MARTOWARDOJO

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-15/PJ/2012

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-15/PJ/2012
TENTANG
PERUBAHAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-33/PJ/2011 TENTANG
BADAN/LEMBAGA YANG DIBENTUK ATAU DISAHKAN OLEH PEMERINTAH
YANG DITETAPKAN SEBAGAI PENERIMA ZAKAT
ATAU SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB
YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang
:
  1. bahwa dalam rangka mengakomodasi badan/lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah sebagai penerima zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto;
  2. bahwa berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian Agama Nomor 43 Tahun 2012 tentang Badan Dharma Dana Nasional Yayasan adikara Dharma Parisad sebagai Lembaga yang Sah Menerima dan Mengelola Dharma Dana Hindu di Indonesia;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-33/PJ/2011 tentang Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan oleh Pemerintah yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
Mengingat
:
  1. Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 TAHUN 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pembebanan Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dan Penghasilan Bruto;
  4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-6/PJ/2011 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan Pembuatan Bukti Pembayaran atas Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dan Penghasilan Bruto;
  5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-33/PJ/2011 tentang Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan oleh Pemerintah yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan Dan Penghasilan Bruto;


MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PERUBAHAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-33/PJ/2011 TENTANG BADAN/LEMBAGA YANG DIBENTUK ATAU DISAHKAN OLEH PEMERINTAH YANG DITETAPKAN SEBAGAI PENERIMA ZAKAT ATAU SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB YANG DAPAT DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO
Pasal 1
Mengubah Lampiran dan menambah 1 (satu) butir menjadi butir 5 dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-33/PJ/2011 tentang Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan oleh Pemerintah yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, sehingga keseluruhan Lampiran berbunyi sebagai berikut:
Badan/Lembaga sebagai penerima zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dan penghasilan bruto adalah:
  1. Badan Amil Zakat Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 2001 tanggal 17 Januari 2001;
  2. Lembaga Amil Zakat (LAZ) sebagai berikut:
    1. LAZ Dompet Dhuafa Republika berdasarkan Keputusan Menteri AgamaNomor 439 Tahun 2001 tanggal 8 Oktober 2001;
    2. LAZ Yayasan Amanah Takaful berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 440 Tahun 2001 tanggal 8 Oktober 2001;
    3. LAZ Pos Keadilan Peduli Umat berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 441 Tahun 2001 tanggal 8 Oktober 2001;
    4. LAZ Yayasan Baitulmaal Muamalat berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 481 Tahun 2001 tanggal 7 November 2001;
    5. LAZ Yayasan Dana Sosial Al Falah berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 523 Tahun 2001 tanggal 10 Desember 2001;
    6. LAZ Baitul Maal Hidayatullah berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 538 Tahun 2001 tanggal 27 Desember 2001;
    7. LAZ Persatuan Islam berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 552 Tahun 2001 tanggal 31 Desember 2001;
    8. LAZ Yayasan Baitul Maal Umat Islam PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 330 Tahun 2002 tanggal 20 Juni 2002;
    9. LAZ Yayasan Bangun Sejahtera Mitra Umat berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 406 Tahun 2002 tanggal 7 September 2002;
    10. LAZ Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 407 Tahun 2002 tanggal 17 September 2002;
    11. LAZ Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 445 Tahun 2002 tanggal 6 November 2002;
    12. LAZ Baitul Maal wat Tamwil berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 468 Tahun 2002 tanggal 28 November 2002;
    13. LAZ Baituzzakah Pertamina berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 313 Tahun 2004 tanggal 24 Mei 2004;
    14. LAZ Dompet Peduli Umat Daarut Tauhiid (DUDT) berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 410 Tahun 2004 tanggal 13 Oktober 2004;
    15. LAZ Yayasan Rumah Zakat Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 42 Tahun 2007 tanggal 7 Mei 2007;
  3. Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah (LAZIS) sebagai berikut:
    1. LAZIS Muhammadiyah berdasarkan Keputusan Menteri  Agama Nomor 457 Tahun 2002 tanggal 21 November 2002;
    2. LAZIS Nandlatul Ulama (LAZIS NU) berdasarkan Keputusan  Menteri Agama Nomor 65 Tahun 2005 tanggal 16 Februari 2006;
    3. LAZIS Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (LAZIS IPHI) berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 498 Tahun 2006 tanggal 31 Juli 2006;
  1. Lembaga Sumbangan Agama Kristen Indonesia (LEMSAKTI) berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian Agama Nomor DJ.III/KEP/HK.00.5/290/2011 tanggal 15 Juli 2011;
  2. Badan Dharma Dana Nasional Yayasan Adikara Dharma Parisad (BDDN YADP) berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian Agama Nomor 43 Tahun 2012 tanggal 15 Maret 2012.
Pasal II
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Juni 2012
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,



A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001

Monday, July 16, 2012

KMK Nomor 1169/KMK.01/1991 Tanggal 27 Nopember 1991

 KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
                                                          NOMOR 1169/KMK.01/1991

                                                                        TENTANG

                                                 KEGIATAN SEWA GUNA USAHA (LEASING)

                                                MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa dalam rangka untuk lebih memberikan kepastian hukum terutama mengenai perlakuan perpajakan
kegiatan sewa-guna-usaha, dipandang perlu mengatur kembali ketentuan tentang kegiatan sewa guna usaha
dalam suatu Keputusan Menteri Keuangan.

Mengingat :

1.         Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
            Negara Tahun 1983 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);
2.         Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983
            Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263);
3.         Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak
            Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 51; Tambahan Lembaran Negara
            Nomor 3264);
4.         Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan;
5.         Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 64M Tahun 1988;
6.         Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1251/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember
            1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan sebagaimana diubah
            dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1256/KMK.00/1989 tanggal 18 Nopember 1989;
7.         Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 634/KMK.013/1990 tanggal 5 Juni 1990
            tentang Pengadaan Barang Modal Berfasilitas Melalui Perusahaan Sewa Guna Usaha (Perusahaan
            Leasing).

                                                                  MEMUTUSKAN :

Menetapkan       :          

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEGIATAN SEWA-GUNA-USAHA (LEASING).


                                                                        BAB I
                                                                KETENTUAN UMUM

                                                                        Pasal 1

Yang dimaksud dalam Keputusan ini dengan :

a.         Sewa-guna-usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik
            secara sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi
            (operating lease) untuk digunakan oleh Lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan
            pembayaran secara berkala;

b.         Barang modal adalah setiap aktiva tetap berwujud, termasuk tanah sepanjang di atas tanah tersebut
            melekat aktiva tetap berupa bangunan (plant), dan tanah serta aktiva dimaksud merupakan satu
            kesatuan kepemilikan, yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dan digunakan secara
            langsung untuk menghasilkan atau meningkatkan, atau memperlancar produksi dan distribusi barang
            atau jasa oleh Lessee;

c.          Lessor adalah perusahaan pembiayaan atau perusahaan sewa-guna-usaha yang telah memperoleh izin
            usaha dari Menteri Keuangan dan melakukan kegiatan sewa-guna-usaha;

d.         Lessee adalah perusahaan atau perorangan yang menggunakan barang modal dengan pembiayaan
            dari Lessor;

e.         Pembayaran Sewa-guna-usaha (Lease Payment) adalah jumlah uang yang harus dibayar secara
            berkala oleh Lessee kepada Lessor selama jangka waktu yang telah disetujui bersama sebagai
            imbalan penggunaan barang modal berdasarkan perjanjian sewa-guna-usaha;

f.          Piutang sewa-guna-usaha (Lease Receivable) adalah jumlah seluruh pembayaran sewa-guna-usaha
            selama masa sewa-guna-usaha;

g.         Harga Perolehan (Acquisition Cost) adalah harga beli barang modal yang dilease ditambah dengan
            biaya langsung;

h.         Nilai pembiayaan adalah jumlah pembiayaan untuk pengadaan barang modal yang secara riil
            dikeluarkan oleh Lessor;

i.          Angsuran Pokok Pembiayaan adalah bagian dari pembayaran sewa-guna-usaha yang diperhitungkan
            sebagai pelunasan atas nilai pembiayaan;

j.          Imbalan Jasa Sewa-guna-usaha adalah bagian dari pembayaran sewa-guna-usaha yang
            diperhitungkan sebagai pendapatan sewa-guna-usaha bagi Lessor;

k.         Nilai Sisa (Residual Value) adalah nilai barang modal pada akhir masa sewa-guna-usaha yang telah
            disepakati oleh Lessor dengan Lessee pada awal masa sewa-guna-usaha;

l.          Simpanan Jaminan (Security Deposit) adalah jumlah uang yang diterima Lessor dari Lessee pada
            permulaan masa lease sebagai jaminan untuk kelancaran pembayaran lease;

m.        Masa Sewa-guna-usaha (Lease Term) adalah jangka waktu sewa-guna-usaha yang dimulai sejak
            diterimanya barang modal yang disewa-guna-usaha oleh Lessee sampai dengan perjanjian sewa-guna
            -usaha berakhir;

n.         Masa Sewa-guna-usaha Pertama adalah jangka waktu sewa-guna-usaha barang modal untuk transaksi
            sewa-guna-usaha yang pertama kalinya;

o.         Opsi adalah hak Lessee untuk membeli barang modal yang disewa-guna-usaha atau memperpanjang
            jangka waktu perjanjian sewa-guna-usaha.


                                                                        BAB II
                                                               KEGIATAN USAHA

                                                                        Pasal 2

(1)        Kegiatan sewa-guna-usaha dapat dilakukan secara :
            a.         sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease);
            b.         sewa-guna-usaha tanpa hak opsi (operating lease).

(2)        Kegiatan sewa-guna-usaha dengan hak opsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a Pasal ini
            ditetapkan sebagai kegiatan lembaga keuangan lainnya.


                                                                        Pasal 3

Kegiatan sewa-guna-usaha digolongkan sebagai sewa-guna-usaha dengan hak opsi apabila memenuhi semua
kriteria berikut :
a.         jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama ditambah dengan nilai
            sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor;
b.         masa sewa-guna-usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk barang modal Golongan
            I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 (tujuh) tahun untuk Golongan
            bangunan;
c.          perjanjian sewa-guna-usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.


                                                                        Pasal 4

Kegiatan sewa-guna-usaha digolongkan sebagai sewa-guna-usaha tanpa hak opsi apabila memenuhi semua
kriteria berikut :
a.         jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama tidak dapat menutupi
            harga perolehan barang modal yang disewa-guna-usahakan ditambah keuntungan yang
            diperhitungkan oleh lessor;
b.         perjanjian sewa-guna-usaha tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.

           
                                                                        Pasal 5

Penggolongan jenis barang modal yang disewa-guna-usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b
Keputusan ini, ditetapkan berdasarkan ketentuan Pasal 11 Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.


                                                                        Pasal 6

(1)        Lessor hanya diperkenankan memberikan pembiayaan barang modal kepada lessee yang telah
            memiliki NPWP, mempunyai kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas.

(2)        Lessee dilarang menyewa-guna-usahakan kembali barang modal yang disewa-guna-usaha kepada
            pihak lain.


                                                                        Pasal 7

(1)        Lessor wajib menempelkan plakat atau etiket pada barang modal yang disewa-guna-usahakan dengan
            mencantumkan nama dan alamat lessor serta pernyataan bahwa barang modal dimaksud terikat
            dalam perjanjian sewa-guna-usaha.

(2)        Plakat atau etiket sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pasal ini harus ditempatkan sedemikian
            rupa sehingga dengan mudah barang modal tersebut dapat dibedakan dari barang modal lainnya yang
            pengadaannya tidak dilakukan secara sewa-guna-usaha.

(3)        Selama masa sewa-guna-usaha, lessee bertanggung jawab untuk memelihara agar plakat atau etiket
            sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini tetap melekat pada barang modal yang disewa-guna-
            usaha.


                                                                        Pasal 8

(1)        Perusahaan sewa-guna-usaha atau perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan sewa-guna-
            usaha, dapat membuka kantor cabang/kantor perwakilan dan menggunakan tenaga asing setelah
            memperoleh izin/persetujuan dan rekomendasi dari Menteri Keuangan.

(2)        Tata cara pemberian izin/persetujuan, dan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
            oleh Direktur Jenderal Moneter.


                                                                        BAB III
                                                      PERJANJIAN SEWA-GUNA-USAHA

                                                                        Pasal 9

(1)        Setiap transaksi sewa-guna-usaha wajib diikat dalam suatu perjanjian sewa-guna-usaha (lease
            agreement).

(2)        Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini sekurang-kurangnya memuat hal-hal
            sebagai berikut :
            a.         jenis transaksi sewa-guna-usaha;
            b.         nama dan alamat masing-masing pihak;
            c.          nama, jenis, type dan lokasi penggunaan barang modal;
            d.         harga perolehan, nilai pembiayaan, pembayaran sewa-guna-usaha, angsuran pokok
                        pembiayaan, imbalan jasa sewa-guna-usaha, nilai sisa, simpanan jaminan, dan ketentuan
                        asuransi atas barang modal yang disewa-guna-usahakan;
            e.         masa sewa-guna-usaha;
            f.          ketentuan mengenai pengakhiran transaksi sewa-guna-usaha yang dipercepat, dan penetapan
                        kerugian yang harus ditanggung lessee dalam hal barang modal yang disewa-guna-usaha
                        dengan hak opsi hilang, rusak atau tidak berfungsi karena sebab apapun;
            g.         opsi bagi penyewa-guna-usaha dalam hal transaksi sewa-guna-usaha dengan hak opsi;
            h.         tanggung jawab para pihak atas barang modal yang disewa-guna-usaha.

(3)        Perjanjian sewa-guna-usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini wajib dibuat dalam
            bahasa Indonesia, dan apabila dipandang perlu dapat diterjemahkan kedalam bahasa asing.


                                                                        BAB IV
                                                            PELAKSANAAN HAK OPSI

                                                                        Pasal 10

Pada saat berakhirnya masa sewa-guna-usaha dari transaksi sewa-guna-usaha dengan hak opsi, lessee dapat m
elaksanakan opsi yang telah disetujui bersama pada permulaan masa sewa-guna-usaha.


                                                                        Pasal 11

(1)        Opsi untuk membeli dilakukan dengan melunasi pembayaran nilai sisa barang modal yang disewa-
            guna-usaha.

(2)        Dalam hal lessee memilih untuk memperpanjang jangka waktu perjanjian sewa-guna-usaha, maka
            nilai sisa barang modal yang disewa-guna-usahakan digunakan sebagai dasar dalam menetapkan
            piutang sewa-guna-usaha.


                                                                        Pasal 12

Dalam hal lessee menggunakan opsi membeli maka dasar penyusutannya adalah nilai sisa barang modal.


                                                                        BAB V
                                                            PERLAKUAN AKUNTANSI

                                                                        Pasal 13

Akuntansi transaksi sewa-guna-usaha dilaksanakan sesuai dengan standar akuntansi di bidang sewa-guna-
usaha di Indonesia.


                                                                        BAB VI
                                                            PERLAKUAN PERPAJAKAN

                                                                    Bagian Pertama
                                                      Sewa-guna-usaha Dengan Hak Opsi

                                                                        Pasal 14

Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessor adalah sebagai berikut :

a.         penghasilan lessor yang dikenakan Pajak Penghasilan adalah sebagian dari pembayaran sewa guna
            usaha dengan hak opsi yang berupa imbalan jasa sewa guna usaha;

b.         lessor tidak boleh menyusutkan atas barang modal yang disewa-guna-usahakan dengan hak opsi;

c.          dalam hal masa sewa-guna-usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan dalam Pasal 3 Keputusan
            ini, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pengakuan penghasilan pihak lessor;

d.         lessor dapat membentuk cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang dapat dikurangkan dari
            penghasilan bruto, setinggi-tingginya sejumlah 2,5% (dua setengah persen) dari rata-rata saldo awal
            dan saldo akhir piutang sewa-guna-usaha dengan hak opsi.

e.         kerugian yang diderita karena piutang sewa-guna-usaha yang nyata-nyata tidak dapat ditagih lagi
            dibebankan pada cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang telah dibentuk pada awal tahun
            pajak yang bersangkutan;

f.          dalam hal cadangan penghapusan piutang ragu-ragu tersebut tidak atau tidak sepenuhnya dibebani
            untuk menutup kerugian dimaksud maka sisanya dihitung sebagai penghasilan, sedangkan apabila
            cadangan tersebut tidak mencukupi maka kekurangannya dapat dibebankan sebagai biaya yang
            dikurangkan dari penghasilan bruto.


                                                                        Pasal 15

Atas penyerahan jasa dalam transaksi sewa-guna-usaha dengan hak opsi dari lessor kepada lessee,
dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.


                                                                        Pasal 16

(1)        Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessee adalah sebagai berikut :

            a.         selama masa sewa-guna-usaha, lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal
                        yang disewa-guna-usaha, sampai saat lessee menggunakan hak opsi untuk membeli;

            b.         setelah lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut, lessee
                        melakukan penyusutan dan dasar penyusutannya adalah nilai sisa (residual value) barang
                        modal yang bersangkutan;

            c.          pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar atau terutang oleh lessee kecuali pembebanan
                        atas tanah, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto lessee
                        sepanjang transaksi sewa-guna-usaha tersebut memenuhi ketentuan dalam Pasal 3 Keputusan
                        ini;

            d.         dalam hal masa sewa-guna-usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan dalam Pasal 3
                        Keputusan ini, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pembebanan biaya sewa-guna-
                        usaha.

(2)        Lessee tidak memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar
            atau terutang berdasarkan perjanjian sewa-guna-usaha dengan hak opsi.


                                                                   Bagian Kedua
                                                      Sewa-guna-usaha Tanpa Hak Opsi

                                                                        Pasal 17

(1)        Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessor adalah sebagai berikut :
            a.         seluruh pembayaran sewa-guna-usaha tanpa hak opsi yang diterima atau diperoleh lessor
                        merupakan obyek Pajak Penghasilan.
            b.         lessor membebankan biaya penyusutan atas barang modal yang disewa-guna-usahakan tanpa
                        hak opsi, sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 beserta
                        peraturan pelaksanaannya.

(2)        Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessee adalah sebagai berikut :
            a.         pembayaran sewa-guna-usaha tanpa hak opsi yang dibayar atau terutang oleh lessee adalah
                        biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
            b.         lessee wajib memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran sewa-guna-usaha tanpa
                        hak opsi yang dibayarkan atau terutang kepada lessor.


                                                                        Pasal 18

Atas penyerahan jasa dalam transaksi sewa-guna-usaha tanpa hak opsi dari lessor kepada lessee, terhutang
Pajak Pertambahan Nilai.


                                                                    Bagian Ketiga
                                                     Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25

                                                                        Pasal 19

Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk setiap bulan yang terutang oleh lessor adalah jumlah
Pajak Penghasilan sebagai hasil penerapan tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan Tahun 1984
terhadap Penghasilan Kena Pajak berdasarkan laporan keuangan triwulanan terakhir sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 20 Keputusan ini disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).


                                                                        BAB IX
                                                                     PELAPORAN

                                                                        Pasal 20

(1)        Lessor wajib menyampaikan laporan keuangan triwulanan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan
            Direktorat Jenderal Moneter.

(2)        Laporan keuangan triwulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sudah disampaikan paling
            lambat 15 (lima belas) hari setelah triwulan yang bersangkutan berakhir.


                                                                        Pasal 21

(1)        Lessor wajib menyampaikan laporan operasional secara semesteran berdasarkan tahun takwim
            kepada Direktorat Jenderal Moneter.

(2)        Bentuk laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini dan tata cara penyampaiannya
            ditetapkan oleh Direktur Jenderal Moneter.


                                                                        Pasal 22

Setiap perubahan anggaran dasar, pemegang saham, pengurus, tenaga ahli, dan alamat kantor wajib
dilaporkan kepada Menteri Keuangan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kerja setelah perubahan
dilaksanakan.


                                                                        Pasal 23

Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud Pasal 20, Pasal 21 dan Pasal 22 atau berdasarkan informasi lain
ditemukan adanya penyimpangan, Menteri Keuangan atau Pejabat yang ditunjuknya dapat melakukan
pemeriksaan.


                                                                        BAB X
                                                                       SANKSI

                                                                        Pasal 24

Pelanggaran terhadap ketentuan Keputusan ini, dapat dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Perundang-undangan Perpajakan dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988
jo. Nomor 1256/KMK.00/ 1989.


                                                                        BAB XI
                                                             KETENTUAN PERALIHAN

                                                                        Pasal 25

(1)        Perlakuan akuntansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Keputusan ini mulai berlaku untuk tahun
            pajak 1991.

(2)        Perlakuan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 16 Keputusan ini mulai
            berlaku terhadap sewa-guna-usaha dengan hak opsi yang kontraknya ditandatangani setelah
            berlakunya Keputusan ini.

(3)        Perlakuan perpajakan yang selama ini diterapkan terhadap sewa-guna-usaha dengan hak opsi yang
            kontraknya telah ditandatangani sebelum berlakunya Keputusan ini, tetap berlaku.


                                                                        BAB XII
                                                               KETENTUAN PENUTUP

                                                                        Pasal 26

Pelaksanaan teknis Keputusan ini diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Moneter dan Direktur Jenderal Pajak
baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.


                                                                        Pasal 27

Dengan ditetapkannya Keputusan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 48/KMK.013/1991 tentang Kegiatan
Sewa-guna-usaha, dinyatakan tidak berlaku.


                                                                        Pasal 28

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak tanggal
19 Januari 1991.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.




Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal  27 November 1991
MENTERI KEUANGAN,

ttd

J.B. SUMARLIN